Buat penulis kreatif, pasti punya masalah dengan ini. Awalnya cuma mau bikin pohon bambu, tapi lama kelamaan muncul cabang-cabang di batangnya dan karena oke juga, jadi diizinkan muncul. Karena begitu kreatifnya dan spekulatif, maka si penulis mengizinkan setiap cabang yang lahir ini untuk berkembang dan akhirnya cerita jadi berantakan, cerita jadi melenceng dari konsep awalnya, cerita jadi gemuk dan mungkin juga ada yang saking kreatifnya sampai-sampai naskah bisa jadi setebal 1000 halaman.
![]() |
"Waduh ... novel gue punya saingan dong?" |
Saya punya sedikit solusi yang mungkin bisa membantu teman-teman penulis untuk keluar dari masalah ide beranak ini.
Bila ide teman-teman mulai hamil dan beranak...jangan diaborsi. Ikuti saja maunya kemana dan biarkan imajinasimu keluar dari kotak. Kalau dia mau liar, liarkan saja. Apa maunya, ikuti saja. Terus ikuti sampe kerasa buntu dan WB (Writer Block) menyerang, baru berhenti.
Setelah itu, naskahnya disimpen sebagai naskah terpisah dan diseleksi. Kira-kira mana yang mau dipertahankan dan mana yang sebaiknya diamputasi. Pertimbangkan juga apakah perlu mempertahankan konsep awal atau harus merombak ulang konsep karena ide baru yang muncul ini keliatannya jauh lebih menarik daripada yang awal punya.
Setelah kita menentukan jalan, kita bisa terus jalan lagi melanjutkan cerita. Yang penting tetap hindari narisisme dalam cerita dan terus fokus pada apa yang mau disampaikan. Kalau otak kreatif kita kembali beranak dan melahirkan ide-ide baru lagi, gpp, teruskan saja, kembangkan saja, jangan dihindari, jangan diamputasi. Kembangkan sampai mentok lalu seleksi lagi. Jangan takut untuk menghilangkan 10 halaman kalau emang gak pas buat cerita. Yang penting pada akhirnya cerita kita setia pada apa yang mau disampaikan.
Lalu ide-ide yang sudah diamputasi itu dikemanakan?
Bagian yang diamputasi itu sudah disimpan baik-baik, kan? Bagus. Selamat, anda tidak perlu khawatir kekurangan ide untuk cerita lain yang akan datang. Seperti saat kita mengikuti karya seorang penulis yang menerbitkan puluhan buku, tentunya kita sadar bahwa penulis itu punya kemiripan di sana sini. Misalnya, penulis A pasti pasangannya cewek-cowok yang beda agama. Atau, penulis B kok selalu bikin pasangan yang salah satunya buruk rupa dan salah satunya rupawan luar biasa?
Ngaku aja deh, kadang ciri khas ini terasa menjemukan kan? Seringkali teman-teman saya bete dengan seorang penulis dengan ciri khas yang sama di setiap karyanya sehingga setiap karya terasa seperti kembaran dan kloning-kloning yang punya sedikit perbedaan saja. Kadang hal ini berujung memberikan reputasi buruk bagi karya seorang penulis.
Atas dasar alasan itulah, saya sarankan para penulis untuk setia pada pesan yang akan disampaikan, selain jeli mengkritisi karyanya sendiri dan melihat ciri khas dalam karya-karyanya sendiri. Cobalah tulis cerita lain dengan nuansa berbeda dan gunakan kreativitasmu untuk mendaur ulang ide-ide yang sudah diamputasi. Dengan cara ini saya berhasil mengurangi plot dalam cerita gemuk; mendistribusikan beberapa ide yang dirasa kurang pas dengan konsep dunia atau pesan cerita ke cerita lain.
Buatlah cerita simpel semenarik mungkin dengan cara penceritaan sesantai mungkin.
Selamat menulis, semoga artikel ini dapat memberikan sedikit pencerahan bagi yang memerlukan. Keep writing!