Saya seorang penulis fiksi dan fantasy. Membicarakan fantasy, sudah pasti sangat dekat dengan imajinasi. Kebanyakan dari kita ... maaf, maksud saya, .... bila kita disuguhkan kata "imajinasi", detik pertama yang meletup dalam kepala kita sebagai lawannya adalah "realita". Maka dari itu kadang secara sepintas, tampaknya apapun yang imajinatif, tidak ada logikanya. Padahal kalau dipikir lagi lebih jauh, sebenarnya dalam imajinasi ada logika, dalam logika ada daya imajinasi.
Manusia itu adalah makhluk imajinatif dengan kemampuan berfantasi. Demikian kata seorang atheis untuk menjelaskan kenapa ada sesosok makhluk Maha Kuasa yang umumnya disebut Tuhan. Tuhan tidak ada, tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar, dicium, diraba, tapi mereka percaya bahwa Tuhan itu ada. Jauh sebelum kita dilahirkan, bapa-bapa gereja dan para filusuf muslim telah merasionalisasikan keberadaan Allah. Terutama pada zaman medieval dimana perang salib menjadi salah satu ikon zaman tersebut. Namun tampaknya mereka sepakat bahwa Tuhan terlalu luas untuk dapat dirasionalisasikan oleh manusia, karena untuk berusaha memahami pikiran Allah, manusia tidak berbeda dengan seorang bocah yang hendak memindahkan lautan ke dalam sebuah lubang kecil di tepi pantai. Namun hasil tulisan para perasional Tuhan itu bukan berarti omong kosong. Mereka sanggup menjelaskan konsep trinitas, turut membangun fondasi bagi ilmu filsafat manusia, yang pada akhirnya mencabang hingga psikologi.
Kisah paragraf di atas hendak menyampaikan tentang perkawinan antara imajinasi dan rasio, daya nalar manusia. Logika adalah dasar dari segala kebenaran. Logika sebaiknya bersifat objektif, sementara rasio umumnya bersifat subjektif. Berdasarkan pengamatan saya sejauh ini, dari segala hal yang diciptakan manusia (karya tulis, karya seni, kejahatan, kebaikan, filsafat, puisi, agama), yang paling abadi biasanya adalah sesuatu yang empiris. Ini menjelaskan kenapa sains begitu kuat posisinya di dunia, saat kita menjelaskan sesuatu kepada orang asing, ia akan lebih percaya bila kita menjelaskan secara sains daripada secara pemahaman subjektif. Hal ini disebabkan karena hal yang bersifat empiris adalah hal yang paling bisa dibuktikan, dan paling mungkin dipercaya keakuratan prediksinya.
Setelah kita memahami betapa kuatnya sesuatu yang empiris, yang tentu saja berhubungan erat dengan logika, maka kita bisa menyimpulkan bahwa karya tulis yang paling baik, sebaiknya yang dapat diterima masyarakat umum. Imajinasi boleh kemana-mana. Tapi untuk menciptakan dasar yang kuat, seorang world-builder harus memperhitungkan faktor empiris untuk menetapkan hukum-hukum yang berlaku di dunianya sendiri.
Dulu ketika saya masih berada dalam LCDP, kami sedang berniat untuk membuat sebuah dunia yang beda dari yang lain, yang unik. Mereka berpikir "diluar kotak" dengan menempatkan matahari di dalam planet. Akal saya sulit menerimanya karena saya mengingat cara orang mengeringkan tanah liat, dan cara orang-orang zaman dahulu membuat cob atau adobe. Ini berarti bila matahari berada di dalam planet dan tidak ada lubang untuk sirkulasi pemuaian udara, akibatnya akan terjadi sebuah ledakan. Tidak ada kehidupan.
Argumentasi mereka adalah : dunia ini sangat luas, maka pemuaian bukan masalah.
Inipun masih cukup lemah karena faktor jarak antara planet dan matahari juga turut menentukan adanya kehidupan atau tidak di dalam planet tersebut. Menjelaskan kenapa kehidupan baru ada di Bumi (Mars nyaris ada/tidak ada). Jarak sekian pun panas matahari masih bisa mengeringkan rumah cob dan bangunan adobe.
Sesungguhnya hal ini tidak berarti menemui kebuntuan dengan lantas mustahil untuk menciptakan dunia di dalam planet dengan matahari di dalam planet. Pada saat hal ini menjadi mustahil untuk dibuktikan secara sains, inilah saat yang tepat untuk memainkan imajinasi dengan menciptakan unsur fantasi di dalamnya. Kreatifkan pikiran dan lepaskan dari argumentasi sains, dengan menambahkan unsur baru yang tidak ada di dunia nyata ke dalam dunia rekaan yang "nyaris tidak mungkin ada" itu. Misalnya, ada sebuah unsur gas yang membuat tanah selalu basah atau sebuah tanaman yang mengendalikan pemuaian itu, atau pikirkan saja apapun yang kira-kira bisa memanipulasi pemuaian udara dalam ruangan tertutup itu menjadi sesuatu yang lan. Atau bisa juga pemuaian itu oleh "sesuatu" dikristalisasikan menjadi kristal energi."
Pada intinya, perkawinan antara empirisme dan imajinasi adalah yang sesungguhnya melahirkan fantasy yang baik. Jujur saja, sering saya menemukan orang yang membaca sebuah novel fantasy dengan plot bagus, tapi ada sebuah kecacatan dalam dunianya yang membuat seseorang tidak berniat lagi untuk melanjutkan membaca dengan nyaman. Biasanya kalau sudah begini, komentar yang akan diberikan adalah, "cerita ini penuh drama dan intrik, tapi sangat miskin riset". Dengan logika yang tepat, cerita kita jadi lebih masuk akal bagi orang lain, dengan logika yang invalid, cerita kita jadi tidak nyaman untuk dibaca. Dengan demikian, saya simpulkan bahwa logika valid dengan imajinasi itu sangat penting dalam world-building dunia fantasy.
Sebagai Pembaca
Jujur saja deh, jauh lebih enak membaca review seorang pembaca yang memiliki logika valid daripada yang hanya mengungkapkan afektivitasnya belaka. Fungsi logika dalam membaca sebuah cerita, seorang pembaca jadi lebih mudah untuk menangkap pesan implisit yang terkandung dalam sebuah kalimat. Logika yang baik juga turut membantu dalam pemahaman cerita dan menentukan seperti apa wujud cerita itu. Semakin objektif sebuah review, biasanya semakin valid logika si pembaca.
Seorang pembaca yang membaca cerita dengan logika (cara berpikir), biasanya mampu memahami dengan baik apa yang terjadi di dalam plot itu, bukannya seseorang yang hanya dapat menemukan kesalahan belaka dan bangga karena merasa jeli.
contohnya,
Di gunung Selamet ada kolam Misterius, siapapun manusia yang masuk ke dalamnya, akan segera mati.
.....................
(beberapa bab kemudian)
..................
"Paijo, Paijo, cincinku jatuh ..."
"Jatuh kemana, Surti?"
"Ke dalam kolam Misterius...kalau kamu cinta sama aku ambilin dong..."
"Oke, Surti, apapun untukmu."
Paijo menyelam ke dalam kolam Misterius dan muncul lagi bersama cincin itu. Wajahnya terlihat segar bugar, ia menghampiri Surti dan menyerahkan cincinnya. "Ini, Surti."
Mereka hidup bahagia selama-lamanya.
ini adalah komentar dengan logika invalid :
"Ini penulisnya ga konsisten nih. Harusnya Paijo langsung mati!"
tapi, ini adalah komentar dengan logika valid :
"Berarti Paijo bukan manusia."
Dengan demikian, pembaca yang menggunakan logikanya dengan valid akan mampu memahami pesan implisit dari si penulis bahwa sesungguhnya Paijo bukan manusia. Menggunakan logika dengan valid akan membuat sebuah karya menjadi lebih dihargai karena dipahami.