Rabu, 25 Juli 2012

Catatan Tengah Malam


"kala kakek dan cucu itu bercuriga bahwa benih itu sudah mati, benih itu ternyata sedang menusukkan akarnya ke bawah begitu dalam hingga menemukan lapisan tanah yang memiliki makanan untuknya. Tanah buruk tersebut rupanya begitu buruk sehingga akar yang tumbuh harus begitu dalam, menyeruak menembus permukaan tanah yang cukup dalam dan semakin keras."


Saya gak main-main waktu menuliskan kalimat itu. Sungguh profesi penulis adalah profesi yang sangat sulit di Indonesia, terlebih bila usiamu sudah 25 tahun dengan masa lalu suram, dan dikuasai sesuatu yang salah dalam dirimu. Ada yang salah dalam diriku, membuatku kesulitan berhubungan dengan orang lain. Aku tidak menyangka dinding yang kubangun di sekitarku sudah menjadi semakin tinggi sehingga aku menjadi asing bagi mereka dan mereka asing bagiku. Namun bila aku mengatakan bahwa aku mengidap Avoidant Personality Disorder, Skizoid, atau socialphobia, semua orang hanya akan mengatakan aku mengada2. Hingga ketika aku sudah membuktikan bahwa aku memang memiliki personality disorder itu, mereka akan menjauhiku dan menganggapku abnormal.

Setiap kali ada yang bertanya dimana aku kuliah, segera setelah aku mengatakan jawabannya, mereka akan berlaku skeptis dan kolot. Lulusan filsafat mau jadi apa? Gimana cara dapet duitnya? Ntar duitnya kecil dong?

Kenapa setiap orang selalu mengukur kehormatan orang lain berdasarkan uang? Kenapa orang tidak pernah melihat seseorang apa adanya?

Sementara seseorang menumbuhkan akarnya dalam-dalam untuk mencari makanan, orang lain sudah terburu-buru memutuskan bahwa benih itu sudah mati. Sudah tamat. Masa depan suram, mati. Adakah yang bisa tumbuh sendirian? Kritik demi kritik harus kutelan, sampai pada saat hatiku menjerit bahwa semua kritik mereka begitu dangkal, mereka tidak mengerti betapa rumitnya masalah ini! Segala sesuatu dinilai berdasarkan uang, mereka mengabaikan waktu!

FIGHT! FIGHT! FIGHT!

Itu yang terus terngiang-ngiang dalam kepalaku, namun di saat yang sama, ... orang juga butuh menangis tanpa dituding sebagai cengeng atau lemah. Terlebih mereka yang sendirian karena kondisi mereka tidak memungkinkan orang lain mendekatinya.

Aku bagaikan hiu yang berenang di dasar palung, aku harus tetap bergerak agar tidak tenggelam. Aku tidak bisa berhenti bergerak atau aku mati. Tapi masalahnya mereka melihat pergerakanku nihil dan sekali lagi, mereka membanding-bandingkan aku dengan kapasitas orang lain yang sebaya denganku yang sudah sukses duluan. Bukankah kita semua memiliki waktunya masing-masing?

Yang bisa mendukungku hanyalah aku dengan mp3ku yang terputar di Winamp. Aku tidak ingin mati, aku ingin hidup, aku ingin menjadi sesuatu, sekalipun aku aneh atau mereka mengira aku tidak wajar!